Kamis, 08 Desember 2011

Perubahan Konstitusi

A. Pendahuluan
Reformasi politik dan ekonomi yang bersifat menyeluruh tidak mungkin dilakukan tanpa diiringi oleh reformasi hukum. Namun reformasi hukum yang menyeluruh juga tidak mungkin dilakukan tanpa didasari oleh agenda reformasi ketatanegaraan yang mendasar, dan itu berarti diperlukan adanya constitutional reform yang tidak setengah hati.
Perubahan konstitusi dipengaruhi oleh seberapa besar badan yang diberikan otoritas melakukan perubahan memahami tuntutan perubahan dan seberapa jauh kemauan anggota badan itu melakukan perubahan. Perubahan konstitusi tidak hanya bergantung pada norma perubahan, tetapi lebih ditentukan oleh kelompok elite politik yang memengang suara mayoritas di lembaga yang mempunyai kewenangan melakukan perubahan konstitusi. Lembaga yang mempunyai kewenangan melakukan perubahan harus berhasil membaca arah perubahan yang dikendaki oleh masyarakat yang diatur secara kenegaraan.
Perubahan konstitusi harus didasarkan pada paradigma perubahan agar perubahan terarah sesuai dengan kebutuhan yang berkembang di masyarakat. Paradigma ini digali dari kelemahan sistem bangunan konstitusi lama, dan dengan argumentasi diciptakan landasan agar dapat menghasilkan sistem yang menjamin stabilitas pemerintahan dan memajukan kesejahteraan rakyat.
Paradigma ini mencakup nilai-nilai dan prinsip-prinsip penting dan mendasar atau jiwa (gheist) perubahan konstitusi. Nilai dan prinsip itu dapat digunakan untuk menyusun telaah kritis terhadap konstitusi lama dan sekaligus menjadi dasar bagi perubahan konstitusi atau penyusunan konstitusi baru. Di samping persoalan paradigma dalam perubahan konstitusi, juga perlu diperhatikan aspek teoritik dalam perubahan konstitusi yang akan mencakup masalah prosedur perubahan, mekanisme yang dilakukan, sistem perubahan yang dianut, dan substansi yang akan diubah.
Setiap konstitusi tertulis lazimnya selalu memuat adanya klausul perubahan di dalam naskahnya, sebab betapapun selalu disadari akan ketidaksempurnaan hasil pekerjaan manusia membuat dan menyusun UUD. selain itu, konstitusi sebagai acuan utama dalam pengaturan kehidupan berbangsa dan bernegara merupakan suatu kontrak sosial yang merefleksikan hubungan-hubunganan kepentingan dari seluruh komponen bangsa dan sifatnya sangat dinamis. Dengan demikian, konstitusi memerlukan peremajaan secara periodik karena dinamika lingkungan global akan secara langsung atau tidak langsung menimbulkan pergeseran aspirasi masyarakat.
Pada awal era reformasi, muncul berbagai tuntutan reformasi yang didesakkan oleh berbagai komponen bangsa, termasuk mahasiswa dan pemuda. Tuntutan itu antara lain sebagai berikut:
1. amandemen UUD 1945;
2. penghapusan doktrin dwifungsi ABRI;
3. penegakan supremasi hukum, penghormatan hak asasi manusia, serta pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN);
4. desentralisasi dan hubungan yang adil antara pusat dan daerah (otonomi daerah);
5. mewujudkan kebebasan pers;
6. mewujudkan kehidupan demokrasi.
Tuntutan perubahan UUD 1945 yang digulirkan oleh berbagai kalangan masyarakat dan kekuasaan sosial politik didasarkan pada pandangan bahwa UUD 1945 belum cukup memuat landasan bagi kehidupan yang demokratis, pemberdayaan rakyat, dan penghormatan HAM. selain itu, didalamnya terdapat pasal-pasal yang menimbulkan multitafsir dan membuka peluang bagi penyelenggaraan negara yang otoriter, sentralistik, tertutup, dan KKN yang menimbulkan kemerosotan kehidupan nasional di berbagai bidang kehidupan.
Adapu tujuan perubahan UUD NRI 1945 adalah untuk:
1. menyempurnakan aturan dasar mengenai tatanan negara dalam mencapai tujuan nasional yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 dan memperkokoh negara Kesatuan Repebulik Indonesia yang berdasarkan Pancasila;
2. menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan dan pelaksanaan kedudukan rakyat serta memperluas partisispasi rakyat agar sesuai dengan perkembangan paham demokrasi;
3. menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan dan perlindungan hak asasi manusia agar sesuai dengan perkembangan paham hak asasi manusia dan peradaban umat manusia yang sekaligus merupakan syarat bagi suatu negara hukum dicita-citakan oleh UUD 1945;
4. menyempurnakan aturan dasar penyelenggaraan negara secara demokratis dan modern, antara lain melalui pembagian kekuasaan yang lebih tegas, sistem saling mengawasi dan saling mengimbangi (checks and balances) yang lebih ketat dan trasnparan, serta pembentukkan lembaga-lembaga negara yang baru untuk megakomodasi perkembangan kebutuhan bangsa dan tantangan zaman;
5. menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan konstitusional dan kewajiban negara mewujudkan kesejahteraan sosial, mencerdasakan kehidupan bangsa, menegakkan etika, moral dan solidaritas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan dalam perjuangan mewujudkan negara sejahtera;
6. melengkapi aturan dasar yang sangat penting dalam penyelenggaraan negara bagi eksistensi negara dan perjuangan negara mewujudkan demokrasi, seperti pengaturan wilayah negara dan pemilihan umum;
7. menyempurnakan aturan dasar mengenai kehidupan bernegara dan berbangsa sesuai dengan perkembangan aspirasi, kebutuhan, serta kepentingan bangsa dan negara Indonesia dewasa ini sekaligus mengakomodasi kecenderungan untuk kurun waktu yang akan datang.
secara konseptual dan strategis, ada empat pilar reformasi yang semestinya menjadi acuan dalam pembaharuan politik, ekonomi, sosial, dan lain-lain, termasuk pembaharuan di bidang hukum. Pertama, mewujudkan kembali pelaksanaan demokrasi dalam segala peri kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dalam demokrasi, rakyat adalah sumber dan sekaligus yang bertanggung jawab mengatur dan mengurus diri mereka sendiri. setiap kekuasaan harus selalu bersumber dan tunduk pada kehendak dan kemauan rakyat. Kedua, mewujudkan kembali pelaksanaan prinsip negara yang berdasarkan atas hukum.
Hukum adalah penentu awal dan akhir segala kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara untuk mewujudkan kebenaran dan keadilan bagi setiap orang. Ketiga, pemberdayaan rakyat dibidang politik, ekonomi, sosial dan lain-lain sehingga terwujud kehidupan masyarakat yang mampu menjalankan tanggung jawab dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Keempat, meweujudkan kesejahteraan umum dan sebesar-besarnya kemakmuran atas dasar keadilan sosial bagi seluruh rakyat. 

B. Metode Perubahan Konstitusi
Pembaharuan konstitusi dimanapun didunia ini terutama tidak ditentukan oleh tata catra resmi (formal) yang harus dilalui. Tata cara formal (fleksibel) tidak serta merta memudahkan terjadinya perubahan UUD. Begitu pula sebaliknya, tata cara formal yang dipersukar (rigid) tidak berarti perubahan UUD tidak akan atau akan jarang terjadi. Faktor utama yang menentukan perubahan UUD adalah berbagai (pembaharuan) keadaan dimasyarakat. Dorongan demokratisasi, pelaksanaan paham negara kesejahteraan (welfare state), perubahan pola dan sistem ekonomi akibat industrialisasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat menjadi kekuatan (forces) pendorong pembaharuan. Jadi, masyarakatlah yang menjadi pendorong utama pembaharuan UUD. Demikian pula peranan UUD itu sendiri. Hanya masyarakat yang berkehendak dan mempunyai tradisi menghormati dan menjunjung tinggi UUD (konstitusi pada umumnya), yang akan menentukan UUD tersebut akan dijalankan sebagaimana mestinya.
KC Wheare pernah mengingatkan, mengapa konstitusi perlu ditentukan pada kedudukan yang tinggi (supreme), supaya ada semacam jaminan bahwa konstitusi itu akan diperhatikan dan ditaati dan menjamin agar konstitusi itu akan diperhatikan dan ditaati dan menjamin agar konstitusi tidak akan dirusak dan diubah begitu saja secara sembarangan. Perubahannya haruis dilakukan secara hikmat, penuh sungguhan, dan pertimbangan yang mendalam. Sasaran yang ingin diraih dengan jalan mempersulit perubahan konstitusi antara lain:
a. agar perubahan konstitusi dilakukan dengan pertimbangan yang masak, tidak sembarangan dengan sadar (dikehendaki);
b. agar rakyat mendapat kesempatan untuk menyampaikan pandangannya sebelum perubahan dilakukan.
UUD yang baik selalu menentukan sendiri prosedur perubahan atas dirinya sendiri. Perubahan yang dilakukan di luar prosedur yang ditentukan itu bukanlah perubahan yang dapat dibenarkan secara hukum (verfassung anderung). Inilah prinsip negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat) dan prinsip negara demokrasi yang berdasarkan atas hukum (constitutional democracy) yang dicita-citakan oleh para pendiri republik ini. Di luar itu, namanya bukan 'rechtsstaat', melainkan 'machtsstaat' yang hanya menjadikan perimbangan 'revolusi politik'  sebagai landasan pembenar yang bersifat "post factum' terhadap perubahan dan pemberlakuan suatu konstitusi.
Menurut Sri Soemantri, apabila dipelajari secara detail mengenai sistem perubahan konstitusi di berbagai negara, paling tidak ada dua sistem yang sedang berkembang, yaitu RENEWEL (Pembaharuan) dianut di negara-negara Eropa Kontinental dan AMANDEMENT (Perubahan) seperti dianut di negara-negara Anglo Saxon. Sistem yang pertama ialah, apabila suatu konstitusi dilakukan perubahan (dalam arti diadakan pembaharuan), maka yang diberlakukan adalah konstitusi yang baru secara keseluruhan. Di antara negara yang menganut sistem ini misalnya Belanda, Jerman, dan Prancis. Sistem yang kedua ialah, apabila suatu konstitusi diubah (diamandemen), konstitusi yang asli tetap berlaku. Dengan kata lain, hasil amandemen tersebut merupakan bagian atau dilampirkan dalam konstitusinya. Sistem ini dianut oleh negara Amerika Serikat.
Menurut Wheare, perubahan UUD akibat dorongan kekuatan (forces) yang terjadi dapat berbentuk; pertama, kekuatan-kekuatan yang kemudian melahirkan perubahan keadaan (circumstances) tanpa mengakibatkan perubahan bunyi yang tertulis dalam UUD, melainkan terjadi perubahan makna. Suatu ketentuan UUD diberi makna baru tanpa mengubah bunyinya. Kedua, kekuatan-kekuatan yang melahirkan keadaan baru itu mendorong perubahan atas ketentuan UUD, baik melalui perubahan formal, putusan hakim, hukum adat, maupun konvensi.
Ada hal-hal prinsp yang harus diperhatikan dalam perubahan UUD. Menurut Bagir Manan, perubahan UUD berhubungan dengan perumusan kaidah konstitusi sebagai kaidah hukum negara tertinggi. Dalam hal ini, terlepas dari beberapa kebutuhan mendesak, perlu kehati-hatian, baik mengenai materi muatan maupun cara-cara perumusan. Memang benar penataan kembali UUD 1945 untuk menjamin pelaksanaan konstitusionalisme dan menampung dinamika baru di bidang politik, ekonomi, sosial, dan lainnya. Namun, jangan sekali-kali perubahan itu semata-mata dijadikan dasar dan tempat menampung berbagai realitas kekuatan politik yang berbeda dan sedan bersaing dalam SU MPR.
Juga berhati-hati dengan cara-cara merumuskan kaidah UUD. Selain harus mudah dipahami (zakelijk), juga menghindari kompromi bahasa yang dapat menimbulkan multitafsir yang dapat disalahgunakan dikemudian hari.
Sri Soemantri menegaskan, dalam mengubah UUD harus ditetapkan dulu alasan dan tujuannya. Jika hal itu sudah disepakati, baru dapat dipikirkan langkah selanjutnya berdasarkan alasan dan tujuan perubahan itu. Misalnya, Selam ini UUD terkesan terlalu beriorentasi pada eksekutif. Oleh karena itu, ditentukanlah bahwa tujuan dari perubahan UUD adalah untuk membatasi eksekutif. Kemudian apa yang dilakukan untuk membatasi kekuasaan eksekutif? itu harus dipikirkan masak-masak. Misalnya, kontrol terhadap eksekutif hanya diperkuat. Itu berarti kedudukan legislatif mesti diperkuat. Jadi, kita harus kembali pada alasan dan tujuan dari perubahan itu. Misalnya, tujuannya adalah mewujudkan negara demokrasi, maka kita harus berbicara dengan mengenai sistem pemerintahan. 
Menurut tradisi Amerika Serikat, perubahan dilakukan terhadap meteri tertentu dengan menetapkan naskah Amandemen yang terpisah dari naskah asli UUD, sedangkan menurut tradisi Eropa perubahan dilakukan langsung dalam teks UUD, jika perubahan itu menyangkut materi tertentu, tentulah naskah UUD asli itu tidak banyak mengalami perubahan. Akan tetapi, jika materi yang diubah terbilang banyak dan apalagi isinya sangat mendasar, biasanya naskah UUD itu disebut dengan nama baru sama sekali. Dalam hal demikian, perubahan identik dengan penggantian. Namun, dalam tradisi Amandemen Konstitusi Amerika Serikat, materi yang diubah biasanya selalu menyangkut satu "issue" tertentu. 
Landasan teoritis melakukan perubahan UUD 1945 dalam bentuk putusan "Perubahan UUD" adalah menjadikan konstitusi bersifat normative-closed sehingga perubahan tidak lagi dilakukan oleh MPR dengan ketetapan MPR. MPR tidak dibenarkan mengembangkan kewenangannya melalui putusan nonamandemen, karena dengan demikian secara teoritis akan menempatkan konstitusi bersifat normative-open. Menjadikan UUD 1945 bersifat normative-closed membawa implikasi terhadap eksistensi MPR, yaitu MPR harus patuh terhadap UUD 1945.
Amandemn sebagai bentuk hukum perubahan UUD mempunyai kedudukan sederajat dan merupakan bagian tak terpisahkan dari UUD. Kebaikan bentuk hukum amandemen atau perubahan ada kesinambungan historis dengan UUD asli (sebelum perubahan). Amandemen atau perubahan merupakan suatu bentuk hukum, bukan sekedar prosedur. Inilah perubahan UUD 1945 yang disebut "perubahan pertama". Tidak perlu semua anggota MPR menandatangani naskah perubahan. Cukup suatu berita acara yang menerangkan penyelanggaraan perubahan sesuai dengan tata cara yang diatur dalam UUD dan naskah perubahan disertakan pada berita acara, termasuk daftar hadir dan sebagainya.

Daftar Pustaka
1. Jimly Assiddiqie, "Telaah Akademis Atas Perubahan UUD 1945" Jurnal Demokrasi dan HAM, Vol. 1, No.4, September-November 2001.
2. ____________, "Konsilidasi Materi Undang-Undang Dasar Republik Indonesia" Kuliah perdana Program Magister Ilmu Hukum UII Yogyakarta, 13 September 2001.
3. A. Mukthie Fadjar dan Harjono, "Pembaharuan Ketatanegaraan Melalui Perubahan Konstitusi", In-TRANS,Malang, 2004.
4. A. Mukhtie Fadjar, "Reformasi Konstitusi Dalam Masa Transisi Paradigmatik", Malang, In-TRANS, 2003.
5. Radi A. Gany, "Amandemen UUD 1945 dari Prespektif Aspirasi Masyarakat", Makalah yang dipersentasikan dalam Forum Rektor Indonesia, Bengkulu, 2002.
6. MPR RI, Panduan Masyarakat UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai dengan urutan Bab, Pasal, dan Ayat, Sekretariat Jenderal MPR RI, Jakarta, 2006.
7. Bagir Manan, "Kata Pengantar" dalam buku Slamet Effendy Yusuf dan Umar Basalim, Reformasi Konstitusi Indonesia Perubahan Pertama UUD 1945, Jakarta,2000.
8. Bagir Manan, "Perubahan UUD 1945", Forum Keadilan, No. 30,31.1999.
9. K.C. Wheare, "Modern Constitution", Oxford University Press, New York-Toronto-London, Third Impression, 1975.
10. Sri Soemantri M, "Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi", Bandung, Alumni, 1987.

Jumat, 08 Juli 2011

KONSTITUSI

A. Pengertian Konstitusi

Konstitusi berasal dari bahasa Prancis (Constituer) yang berarti membentuk. Pemakaian Istilah konstitusi yang dimaksudkan ialah pembentukkan suatu negara atau menyusun dan menyatakan suatu negara. Pemakaian istilah konstitusi dengan UUD merupakan sesuatu yang berbeda, namun ada beberapa pakar juga menyatakan bahwa pengertian Konstitusi sama dengan UUD. 

UUD merupakan terjemahan istilah dalam bahasa Belanda yaitu Gronwet. Grond artinya tanah/dasar, sedangkan Wet artinya Undang-Undang. 

Mencermati dikotomi istilah constitution dengan Gronwet (UUD). maka L.J. Van Apeldoorn membedakan dengan jelas kedua istilah tersebut. istilah Gronwet adalah bagian tertulis dari Konstitusi, sedangkan konstitusi memuat peraturan tertulis maupun tidak tertulis. 
Herman Heller membagi pengertian kosntitusi menjadi tiga sebagai berikut:
1. Die Politische verfassung als gesellschaftlich wirklichkeit. Konstitusi mencerminkan kehidupan politik di dalam masyarakat sebagai suatu kenyataan. jadi, mengandung pengertian politis dan sosiologis.
2. Die Verselbstandigte rechtsverfassung. konstitusi merupakan suatu kesatuan kaidah yang hidup dalam masyarakat. jadi, mengandung pengertian yuridis.
3. Die geshereiben verfasssung. konstitusi yang ditulis dalam suatu naskah sebagai undang-undang tertinggi yang berlaku dalam suatu negara.
dari pendapat tersebut, dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa jika pengertian Undang-Undang itu harus dihubungkan dengan pengertian konstitusi. maka artinya, Undang-Undang Dasar itu merupakan sebagian dari pengertian konstitusi, yaitu konstitusi tertulis saja. Di samping itu, konstitusi tidak hanya bersifat yuridis semata-mata, tetapi mengandung pengertian logis dan politis.
F. Lassalle dalam bukunya "Uber Verfassungswesen" membagi konstitusi dalam dua pengertian berikut:
1. Pengertian sosiologis atau politis (sosiologische atau politische begrip). Konstitusi adalah sintese faktor-faktor kekuatan yang nyata (dereele machtsfactoren) dalam masyarakat. jadi, konstitusi menggambarkan hubungan antara kekuasaan-kekuasaan yang terdapat dengan nyata dalam suatu negara. kekuasaan tersebut di antaranya, Raja, Parlemen, Kabinet, Pressure groups, Partai Politik, dan lain-lain, itulah sesungguhnya Konstitusi.
2. Pengertian yuridis (Yuridische begrip). Konstitusi adalah suatu naskah yang memuat semua bangunan negara dan sendi-sendi pemerintahan.
Dari pengertian sosiologis dan politis, ternyata Lassalle menganut paham bahwa konstitusi sesungguhnya mengandung pengertian yang lebih luas dari sekedar undang-undang dasar. Namun, dalam pengertian yuridis, Lassalle terpengaruh pula oleh paham kodifikasi yang menyamakan konstitusi dengan undang-undang dasar.

sedangkan penganut paham modern yang dengan tegas menyamakan pengertian konstitusi dengan undang-undang dasar, antara lain C.F. Strong dan James Bryce. Pendapat James Bryce sebagaimana dikutip C.F. Strong dalam bukunya "Modern Political Constitutions" menyatakan konstitusi adalah "A Frame of political society, organized through and by law, that is to say on in which law has established permanent institution with recognized fucntions and definite rights".
dari defenisi di atas, pengertian konstitusi dapat disederhanakan rumusannya sebagai kerangka negara yang diorganisasi dengan dan melalui hukum, dalam hal mana hukum menetapkan: 
1. Pengaturan mengenai pendirian lembaga-lembaga permanen.
2. fungsi alat-alat kelengkapan.
3. Hak-hak tertentu yang telah ditetapkan.
Sri Soemantri menilai bahwa pengertian tentang konstitusi yang diberikan oleh C.F. Strong lebih luas dari pada yang dikemukakan oleh James Bryce. walaupun pengetian yang dikemukakan oleh James Bryce itu merupakan konstitusi dalam kerangka masyarakat politik (negara) yang diatur oleh hukum dalam konstitusi itu hanya terdapat pengaturan mengenai alat-alat kelengkapan negara yang dilengkapi dengan fungsi dan hak-haknya. 
sedangkan K.C Wheare mengartikan konstitusi sebagai "keseluruhan sistem ketatanegaraan dari suatu negara berupa kumpulan peraturan yang membentuk, mengatur, atau memerintah dalam pemerintahan suatu negara". peraturan disini merupakan gabungan antara ketentuan-ketentuan yang memiliki sifat hukum (legal) dan yang tidak memilih sifat hukum (nonlegal).

Konstitusi dalam dunia politik sering digunakan paling tidak dalam dua pengertian, sebagaimana dikemukakan oleh K.C. Wheare dalam bukunya " Modern Constitutions". pertama, dipergunakan dalam arti luas, sistem pemerintahan dari suatu negara dan merupakan himpunan peraturan yang mendasari serta mengatur pemerintahan dalam menyelenggarakan tugas-tugasnya. sebagai sistem pemerintahan di dalamnya terdapat campuran tata peraturan baik yang bersifat hukum maupun yang bukan peraturan hukum. Kedua, pengertian dalam arti sempit, yakni sekumpulan peraturan yang legal dalam suatu lapangan ketatanegaraan suatu negara yang dimuat dalam "suatu dokumen" atau "beberapa dokumen" yang terkait satu sama lain.

Berangkat dari beberapa pendapat para ahli tentang pengertian konstitusi di atas, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa pengertian konstitusi meliputi konstitusi tertulis dan konstitusi tidak tertulis. UUD merupakan konstitusi tertulis. adapaun batasan-batasannya dapat dirumuskan kedalam pengertian sebagai berikut, yaitu:
1. suatu kumpulan kaidah yang memberikan pembatasan-pembatasan kekuasaan kepada para penguasaa.
2. suatu dokumen tentang pembagian tugas dan sekaligus petugasnya dari suatu sistem politik.
3. suatu deskripsi dari lembaga-lembaga negara.
4. suatu deskripsi yang menyangkut masalah hak-hak asasi manusia.

B. Materi Muatan Konstitusi

Menurut A.A.H.Struycken undang-undang dasar sebagai konstitusi tertulis merupakan sebuah dokumen formal yang berisi:
1. hasil perjuangan politik bangsa di waktu lampau.
2. tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa.
3. pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan, baik waktu sekarang maupun untuk masa yang akan datang.
4. suatu keinginan, dengan mana perkembangan kehidupan ketatanegaraan bangsa hendak dipimpin.
K.C.Wheare mengemukakan tentang apa yang seharusnya menjadi isi suatu konstitusi, yaitu: "the very minimum, and that minimum to be rule of law". ia mengatakan bahwa sifat yang khas dan mendasar dari bentuk konstitusi yang terbaik dan ideal adalah konstitusi itu harus sesingkat mungkin untuk menghindarkan kesulitan-kesulitan para pembentuk undang-undang dasar dalam memilih mana yang penting dan harus dicantumkan dalam konstitusi dan mana yang tidak perlu pada saat mereka akan merancang suatu undang-undang dasar sehingga hasilnya akan dapat diterima baik oleh mereka yang akan melaksanakan maupun pihak yang akan dilindungi oleh undang-undang dasar tersebut.
Mr.J.G. Steenbeek, sebagaimana dikutip oleh Sri Soemantri dalam disertasinya, menggambarkan secara lebih jelas apa yang seharusnya menjadi isi dari konstitusi. pada umumnya suatu konstitusi berisi tiga hal pokok yaitu:
1. adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warga negaranya.
2. ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental.
3. adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental.
sedangkan menurut Miriam Budihardjo, setiap undang-undang dasar memuat ketentuan mengenai:
1. organisasi negara, misalnya pembagian kekuasaan antara badan legislatif, yudikatif dan eksekutif, pembagian kekuasaan antara pemerintah federal dengan negara bagian.
2. hak-hak asasi manusia.
3. prosedur mengubah undang-undang dasar.
4. ada kalanya memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari undang-undang.